Seperti “Pulang”

Posted by Meng Category: news Tag:

Tol Cipularang.

 

Sabtu 18 Mei lalu, saya dan istri saya Linda berkesempatan berlibur ke Solo, kampung halaman keluarga besarnya. Mungkin lebih tepat disebut setengah liburan karena agenda utamanya adalah ziarah ke makam-makam keluarga yang tersebar di beberapa daerah di sekitar Solo & Jogja. Nyekar. Dalam rangka rencana pernikahan adik ipar saya Leo dan calon istrinya Peggy.

Seperti biasa, kami memilih melakukan perjalanan ini dengan mobil pribadi. Saya sangat suka nyetir dan kami berdua sangat menikmati perjalanan di sepanjang rute jalur selatan saat hari masih terang. Karena itu, sesuai rencana, kami berangkat dari rumah sekitar jam 5 pagi agar bisa tiba di Dieng sebelum gelap. Yak. Dieng! Karena jadwal nyekar baru dimulai Senin pagi, kami berencana menjenguk Dieng. Tepatnya, lokasi-lokasi acara Float2Nature tahun lalu, bahkan termasuk bukit Sikunir. Ambisius, memang.

Banjarnegara’s afternoon fashion.

 

Kami sangat beruntung, perjalanan menuju Dieng lancar, meski di akhir minggu. Setelah jalan santai selama sekitar 11 jam, akhirnya kami memasuki Banjarnegara dan memutuskan mengambil rute Banjarnegara-Dieng yang belum pernah ditempuh sebelumnya. Sekitar jam 5 sore, jalan mulai menanjak dan pemandangan-pemandangan yang belum pernah kami lihat mulai bermunculan.

Tidak banyak kendaraan yang memilih jalur ini. Mungkin karena banyaknya ruas jalan yang rusak. Mungkin juga karena ada beberapa tanjakan yang terasa lebih curam dan jarak tempuh yang terasa lebih panjang dibanding rute via Wonosobo. Setelah sekitar satu setengah jam, akhirnya kami memasuki Dieng Kulon.

Menu “Bu Djono”.

 

Senang sekali rasanya kembali ke tempat ini. Suhu terasa lebih dingin dibanding tahun lalu. Menuju losmen “Bu Djono”, kami melewati persimpangan jalan menuju homestay Nephentes, basecamp panitia tahun lalu, masih sama. Tidak jauh dari situ, kami melewati pusat informasi wisata Dieng yang sepertinya baru. Atau mungkin luput dari perhatian kami tahun lalu. Yang pasti, sekarang ada Indomaret baru yang belum ada tahun lalu, tidak jauh dari situ.

Setibanya di “Bu Djono”, kami langsung memesan makanan yang sudah terbayang-bayang sejak beberapa hari sebelumnya. Saya pilih nasi goreng dan Linda sup sayuran. Waktu pertama kali menyicipi sup sayuran ini, Linda sempat menanyakan seberapa banyak gula yang digunakan. Ternyata, rasa manis itu berasal dari sayurannya, terutama wortelnya! Memang semua yang ditanam di Dieng memiliki karakter yang khas. Pepaya, wortel, cabai, kentang, kacang, duren, semuanya jadi versi Dieng!

Dieng’s morning light entered our living room.

 

Setelah makan malam, kami menginap di homestay “Dahlia”, sekitar 200 meter dari “Bu Djono”. Pagi harinya, tanpa sedikitpun keraguan, kami membatalkan rencana ambisius kami menaiki Sikunir dan memilih menikmati kopi di teras.

Dan paginya Dieng. Paling tidak, sebatas radius beberapa meter dari spot tempat kami ngopi.

Di seberang teras.

 

Suasana di jalan, persis di samping homestay “Dahlia”.

 

Pagi di Dieng Kulon.

 

Setelah cukup puas mengabadikan beberapa adegan paginya Dieng di sekitar homestay, kami melanjutkan kunjungan ke Telaga Cebong, Desa Sembungan, sekitar 30 menit dari Dieng Kulon. Kali ini kami punya banyak waktu untuk berhenti dan mengambil gambar di sepanjang perjalanan yang tahun lalu tidak sempat terambil.

Perjalanan ke Desa Sembungan.

 

Tangga mereng.

 

WC khusus pocong.

 

“S”

 

Dan, akhirnya, Desa Sembungan.

Baru?

 

Setelah masuk wilayah Desa Sembungan, meski baru sekitar jam 7 pagi, kami sudah berpapasan dengan mobil-mobil dari arah berlawanan. Jumlahnya cukup banyak. Dari plat nomornya, seingat saya, mobil-mobil itu berasal dari Jakarta, Jogja, Solo, Malang dan Semarang. Selain mereka, juga ada beberapa rombongan pejalan kaki yang membawa ransel dan perlengkapan camping. Ada juga yang naik motor. Kelihatannya mereka semua habis menginap semalam. Atau mungkin sekedar menikmati “golden sunrise” di Sikunir. Yang pasti, mereka semua tidak terlihat seperti penduduk lokal.

Kondisi jalan masih sama. Berlubang, berbatu, belum diaspal. Di ruas jalan sempit yang membelah ladang kentang di kedua sisinya, beberapa puluh meter dari Telaga Cebong, kami sempat berhadapan dengan sebuah mobil wisatawan. Persis seperti yang sudah diperkirakan. Dengan mempertimbangkan perbandingan tingkat kesulitan jalan mundur, akhirnya kami mengalah. Meski kurang hobi, saya memutuskan atret beberapa puluh meter. Masalah yang sama seperti tahun lalu, meski pemecahannya sangat sederhana. Petugas pengatur lalu lintas yang dilengkapi alat komunikasi.

Setelah melakukan usaha yang cukup berarti, kami kembali ke arah yang benar. Maju ke Cebong. Kami disambut pemandangan baru ini.

Telaga cebong baru.

 

Suasana parkiran Telaga Cebong sangat jauh berbeda dibanding saat pertama kali kami ke sini tahun lalu. Sekarang ada paling tidak lima warung sangat sederhana yang menjual makanan, minuman, dan suvenir. Ada juga beberapa kios kecil permanen yang didirikan dinas pariwisata setempat. Paling tidak, itu menurut pengakuan salah satu pemilik warung yang kami temui. Namanya Yunaedi.

Saat kami berjalan mendekati warung-warung itu, Yunaedi langsung menegur saya. “Sudah kangen ya, Mas?”, sapanya. Saat saya baru memperhatikan t-shirt yang dipakainya, Yuna, demikian panggilannya, langsung menjelaskan bahwa ia adalah salah satu dari sekelompok warga Desa Sembungan yang ikut berpartisipasi tahun lalu sebagai panitia. Selain Yuna dan istrinya, kami juga ditemani Pak Ahmad yang tahun lalu juga ikut dalam kepanitiaan dari warga setempat. Mereka sangat bersemangat menanggapi pertanyaan sederhana dari kami, “Apa kabar?”

Saya dan Yuna.

 

Kata mereka, banyak sekali perubahan di Desa Sembungan pasca Float2Nature tahun lalu di sini. Selama setahun ini jumlah wisatawan Cebong & Sikunir meningkat. Mereka semua berasal dari daerah yang beragam. Dinas pariwisata Wonosobo mulai melirik potensi pariwisata Desa Sembungan. Karena itulah mereka membangun signage Sikunir dan kios-kios permanen itu. Para warga pun sekarang mulai menikmati pertumbuhan pariwisata daerahnya. Selain berbelanja makanan, minuman, dan suvenir di warung-warung warga, para wisatawan juga tertarik membeli hasil bumi mereka. Kondisinya sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Yuna dan Pak Ahmad kembali melanjutkan ceritanya. Mereka bilang, warga sangat menyesali keributan di malam acara Float2Nature tahun lalu yang dipicu kecemburuan sekelompok warga yang tidak dilibatkan dalam kepanitiaan. Menurut pengakuan mereka, rekrutmen panitia dilakukan berdasarkan pengalaman masing-masing warga dalam bidang pariwisata. Misalnya, sebagi pemandu wisata atau sekedar berjualan di daerah wisata lokal. Mereka merasa tidak aman jika melibatkan orang-orang yang tidak berpengalaman. Dari proses rekrutmen itu, terpilihlah 15 orang. Para ibu yang dimintai kesediaannya untuk terlibat di dapur panitia juga tidak semuanya menyanggupi. Pada awalnya, mereka semua ini tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka keberatan hingga malam itu, setelah mereka terkejut melihat jumlah peserta acara sebanyak itu.

 

Jalan yang baru dibangun, direncanakan mengitari Telaga Cebong.

 

Sambil menyantap makanan dan minuman di warung, mereka melanjutkan. Seminggu setelah Float2Nature, para tokoh masyarakat setempat mengumpulkan seluruh warga untuk menyelesaikan masalah yang memicu keributan itu. Mereka kini telah menyadari kekeliruannya dan sangat berharap agar acara yang sama dapat diadakan lagi di desa mereka. Bahkan, ada beberapa warga yang meminta para panitia lokal untuk menghubungi kami di Jakarta untuk kembali ke sini.

Lega sekali rasanya menyimak cerita mereka. Terharu. Paling tidak, berdasarkan cerita Yuna dan Pak Ahmad, ada kesan baik yang kami tinggalkan di sini.

Sudah dua kali dalam beberapa bulan terakhir ini saya dan teman-teman panitia Float2Nature 2013 bulak-balik Jakarta – Jawa Tengah untuk mencari lokasi yang ideal untuk acara tahun ini. Tidak satupun yang menjanjikan kepastian. Tidak satupun yang dapat menyaingi, atau bahkan sekedar mendekati magisnya Dieng. Jelas, tidak satupun yang membuat kami merasa seperti “pulang”.

Siang harinya, kami melanjutkan perjalanan ke Solo, menuruni jalan sepanjang rute Dieng-Wonosobo. Hanya satu topik yang mendominasi percakapan kami di sepanjang perjalanan, rencana kami untuk kembali ke Dieng suatu hari nanti.

Menuju Solo via Magelang.

 

Pohon kita di kompleks Candi Arjuna.

2 thoughts on “Seperti “Pulang”

  1. Float2nature adalah ide segar untuk Indonesia, ketika musik dan pariwisata melebur apik menjadi satu. Musik kalian musik jalan – jalan, mudah – mudahan yang selanjutnya bisa ikut gabung dan ikut sama – sama ngapung, bersama riuh rendahnya suara alam, ‘dan lalu’ tak mau “pulang”. 🙂

    1. Wah! Seneng bgt baca tanggapannya. Semoga persiapan untuk F2N 2013 ini berjalan lancar. Terimakasih atas dukungan dan doanya. Mudah2an kita semua bisa ketemu lagi, ngapung bareng di alam bebas. 😉

Leave a Reply