FLOAT Merayakan 21 Tahun Konsistensi Lewat “Dimabuk Cahaya”: Lagu Tentang Kekuatan Kebenaran yang Menaklukkan
Jakarta, 27 Oktober 2025 – Float menandai dua dekade lebih perjalanan musikalnya dengan “Dimabuk Cahaya” — sebuah lagu yang tidak hanya eksperimental secara sonik, tapi juga filosofis dalam maknanya. Di tengah hiruk-pikuk algoritma dan kecepatan tren digital, band ini memilih berjalan perlahan, menegaskan bahwa kejujuran, konsistensi, dan cahaya dari dalam adalah kekuatan yang paling bertahan lama.
DEKLARASI NADI: BUKAN COMEBACK, TAPI KELANJUTAN NAPAS
Setelah lebih dari dua dekade mengarungi skena musik Indonesia, Float — kini beranggotakan Hotma “Meng” Roni Simamora (vokal/gitar), Timur Segara (drum), David Qlintang (gitar), dan Binsar Tobing (bass) — kembali menyalakan semestanya lewat single terbaru, “Dimabuk Cahaya.”
Bagi mereka, lagu ini bukan sekadar rilisan tambahan dalam katalog panjang Float. Ia adalah deklarasi nadi, tanda bahwa spirit kreatif mereka masih menyala dengan “segar”.
Lagu ini juga menjadi kelanjutan dari “Emily” (2024), yang sama-sama lahir dari fase reflektif Float pasca dua dekade perjalanan. Keduanya merupakan bagian dari album penuh yang sedang mereka siapkan — sebuah rangkaian karya yang merekam evolusi musikal dan spiritual Float, dari keheningan, pencarian, hingga pencerahan.
“Buat kami ini bukan comeback,” ujar Meng. “Ini kelanjutan dari napas yang sama. Spirit-nya masih ada. Kami cuma ingin terus memberi warna baru di dunia yang kami cintai.”
Seperti tetes air yang terus menetes di karang, Float meyakini kekuatan konsistensi yang pelan tapi pasti. Di dunia yang semakin cepat, mereka memilih menjadi tetesan itu — lambat, tenang, tapi membentuk batu.
Bicara tentang posisi di skena, Float tidak ingin disebut “kembali” — karena sejatinya mereka tidak pernah pergi. Formasi boleh berubah, tapi intinya tetap satu: Meng adalah jangkar, ujar yang lain.
Ia yang menjaga arah band sejak awal, memelihara semangat eksploratif yang bebas tapi jujur.
POSISI ‘NGAPUNG’: STRATEGI ANTI-ALGORITMA
Float menyebut posisinya sebagai ngapung: tidak terlalu tinggi di awan, tidak tenggelam di dasar.
“Buat kami, ngapung itu posisi ideal,” kata Binsar. “Kami tetap tenang di tengah arus, nggak perlu ikut hiruk-pikuk biar dibilang relevan.”
Dalam era ketika algoritma menuntut kecepatan dan viralitas, Float memilih jalan sebaliknya. Mereka membuat lagu yang justru menuntut pendengarnya untuk diam sejenak, fokus, dan benar-benar mendengar.
“Relevansi itu bukan soal kerasnya suara,” tambah Binsar, “tapi seberapa jujur lo sama apa yang lo bikin.”
Dengan pendekatan ini, Float menegaskan strategi anti-algoritma: menciptakan musik yang tidak ditujukan untuk algoritma, tetapi untuk manusia yang mendengarkan dengan hati.
EKSPLORASI SONIK: VINTAGE 70-AN DAN KICK DRUM MENTAH
Secara musikal, “Dimabuk Cahaya” hadir dengan aroma vintage khas 70-an — organik, hangat, dan bertekstur. Inspirasi awal Meng datang dari lagu “You Only Live Twice”, karya Leslie Bricusse & John Barry yang dinyanyikan Nancy Sinatra, sebuah lagu tema salah satu film James Bond: misterius dan elegan, minor tapi mayor.
“Gue pengin bikin lagu yang kayak gitu — sesuatu yang sinematik dengan gaya Float formasi sekarang ini,” ujarnya.
Float membalik proses kreatif mereka: bukan lirik dulu, tapi musik dulu. Dimulai dengan nada vokal, progresi kord, dan struktur lagu dari Meng, lalu dilanjutkan sesi jamming yang cair antara Meng, Timur, David, dan Binsar, fondasi aransemen musiknya terbentuk secara alami sebelum kata-kata muncul.
Eksperimen paling menonjol ada di drum. Timur mengusulkan penggunaan teknik single head kick drum — kepala depan dilepas. Teknik ini menghasilkan suara yang lebih mentah, resonan, dan hidup, memberi nuansa vintage ala 70-an.
Secara sonik, Float memilih perlawanan terhadap sterilitas produksi modern. Alih-alih mengejar suara clean dan quantized, mereka memilih tekstur yang punya napas. Ini bukan nostalgia — ini adalah manifestasi teknis dari filosofi kejujuran mereka.
MAKNA FILOSOFIS: CAHAYA YANG MENELANJANGI KEPALSUAN
Lirik “Dimabuk Cahaya” menjadi pusat refleksi spiritual band ini. “Cahaya” bagi Float bukan sekadar terang, melainkan simbol pengetahuan dan iman — sesuatu yang membuat manusia kehilangan kendali atas dirinya karena tersadar.
Benih terang menyesakkan ruang-ruang. Tabir muslihat terkoyak lebar-lebar.
Cahaya di sini tidak lembut, tapi menyakitkan. Ia menelanjangi kepalsuan, mengoyak muslihat, dan memaksa manusia menghadapi kebenaran yang sering dihindari. Float membalik makna “mabuk” dari sesuatu yang destruktif menjadi kondisi spiritual — kehilangan kendali karena disadarkan oleh kebenaran.
Pesan utamanya sederhana tapi dalam: Kebenaran akan dan selalu menemukan jalannya untuk menang.
Seperti bait mereka yang paling sunyi namun paling kuat: Seperti tetes air pada karang bebatuan, direstu waktu, menghancurkan.
“Dimabuk Cahaya” bukan lagu tentang cinta atau nostalgia — ini lagu tentang kesadaran dan keberanian untuk terus jujur.
“Buat kami, ini bukan soal kembali ke peta musik,” kata David. “Yang penting, kami masih bisa merasa lebih hidup lewat lagu yang kami buat.”
Lagu ini direkomendasikan untuk didengarkan di saat sendiri — di perjalanan malam, atau di antara dua keheningan. Karena di situlah maknanya paling terasa. Float tidak sedang berusaha menyaingi siapa pun. Mereka hanya memastikan bahwa setelah 21 tahun, cahaya yang dulu menuntun mereka masih menyala — dan kali ini, mungkin akan membuat kita semua mabuk karenanya.
All written & produced by Hotma Roni Simamora.
Recorded at Floatlab, Bogor.
Mastering engineer: Andi Anggoro, Jakarta.
Cover Artwork by Dhiya Prana Widya.
Emily
Emily
Kau tak seperti biasanya
Ombak, langit yang cerah
Telah lelah menggodamu
Oh, Emily
Perih bisiknya rendah
Pasti membuatmu patah
Jatuhlah di pelukku
Kemana pun arah angin pengubah
Jalanmu panjang berliku
Emily
Dan Emily
Di malam-malam terkelam
Tak perlu terus kau redam
Sepi dan amarahmu
Menangis, tertawa
Hidupi makna
Yang pasti hanyalah waktu
Kemana pun arah angin pengubah
Hanyutlah kau bersamaku
Emily
Hari ini terang, kemarin hujan
Yang pasti dan kekal hanya perubahan
Hari ini terang, kemarin hujan
Yang pasti dan kekal hanya perubahan
Hotma Roni Simamora: vocals, acoustic guitars, electric guitars.
David Qlintang: electric guitars.
Binsar H Tobing: bass.
Timur Segara: drums.
Dimabuk Cahaya
Seperti matahari di gelap malam
Yang tak terlihat
Terus berbuat
Seperti kata hati di kekacauan
Tak bersuara
Tak terbungkam
Benih terang menyesakkan ruang-ruang
Tabir muslihat terkoyak lebar-lebar
Dimabuk cahaya
Melahap api
Dimabuk cahaya
Seperti tetes air pada karang, bebatuan
Direstu waktu
Menghancurkan
Dimabuk cahaya
Melahap api
Dimabuk cahaya
